Pemerintah Suriah Tunjuk Pejabat Gubernur Raqqa yang Baru
Pemerintah Suriah kembali mengangkat Mahmoud Abdul Karim Salqini sebagai gubernur Raqqa yang baru. Damaskus juga mengeluarkan keputusan resmi bernomor 788/Q yang ditandatangani oleh Menteri Administrasi Lokal dan Lingkungan, Muhammad Ammar Jani, pemerintah pusat menunjuk insinyur Mahmoud Abdul Karim Salem sebagai Kepala Dinas Lingkungan Provinsi Raqqa.
Penunjukan ini tampak formal dan mengikuti prosedur standar pemerintahan Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa. Namun, secara geopolitik, wilayah Raqqa bukanlah daerah yang benar-benar berada di bawah kendali penuh Damaskus.
Sejak pecahnya perang Suriah dan munculnya berbagai kekuatan lokal maupun asing, Raqqa menjadi salah satu provinsi yang terbagi dalam pengaruh militer yang berlapis.
Raqqa kini dikuasai Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung Amerika Serikat pada tahun 2017. Sejak saat itu, sebagian besar pusat kota Raqqa dan wilayah sekitarnya berada di bawah kontrol otoritas Kurdi melalui struktur pemerintahan lokal AANES. Kondisi inilah yang membuat keputusan pemerintah Suriah terlihat lebih sebagai simbol politik dibandingkan kenyataan administratif di lapangan.
Fakta yang mencolok adalah bahwa pemerintah Suriah saat ini hanya benar-benar menguasai wilayah Jalabrus dan Ras al-Ain yang terletak di utara Raqqa, serta beberapa pinggiran desa yang berserakan di sekitar provinsi tersebut. Kontrol ini sangat terbatas, jauh dari cakupan administratif sebuah provinsi secara utuh. Dengan demikian, pejabat yang baru ditunjuk, secara praktis hanya memiliki otoritas nyata di wilayah kecil tersebut.
Bagi sebagian pengamat, keputusan penunjukan Mahmoud Abdul Karim Salem adalah upaya Damaskus untuk tetap menunjukkan eksistensi simbolik negara di semua provinsi, meskipun kendali nyata di lapangan jauh dari total. Dalam konteks politik domestik, langkah ini merupakan bagian dari strategi pemerintah Suriah untuk terus menegaskan klaim atas seluruh wilayah nasional, sekalipun realitas teritorial tidak sejalan.
Penunjukan ini juga mencerminkan bagaimana pemerintahan Suriah mempertahankan struktur administratifnya tetap berjalan di atas kertas. Tarikan birokrasi semacam ini bukan hal baru, karena sejak perang meletus, banyak pejabat setingkat direktur provinsi tetap dilantik meski kantor dan otoritas mereka hanya bersifat terbatas. Para pejabat itu diperkirakan akan mengkonter isu dari Raqqa dan akan dilibatkan dalam upaya integrasi Raqqa dengan wilayah Suriah lainnya.
Khusus di Raqqa, persoalan lingkungan sebenarnya sangat krusial. Kota yang pernah luluh lantak akibat pertempuran panjang meninggalkan kerusakan serius pada infrastruktur dasar, jaringan listrik, air, serta pencemaran akibat reruntuhan bangunan dan amunisi yang belum meledak. Namun, sulit dibayangkan bagaimana seorang pejabat lingkungan yang ditunjuk Damaskus dapat menjalankan tugasnya di wilayah yang mayoritas dikendalikan kekuatan lain.
Realitas ini menimbulkan pertanyaan publik: apakah keputusan tersebut murni untuk kepentingan administratif, ataukah sekadar langkah simbolik politik? Bagi banyak kalangan, jawabannya cenderung condong pada simbolisme, karena koordinasi lapangan hampir mustahil dilakukan tanpa akses penuh ke wilayah provinsi.
Sementara itu, pemerintah Kurdi di bawah AANES tetap mengoperasikan struktur pemerintahan lokal mereka di Raqqa, bahkan dengan level perdana menteri kanton mirip Bosnia Herzegovina. Mereka memiliki dinas-dinas lingkungan, pertanian, hingga kesehatan yang bekerja secara fungsional. Hal ini semakin menegaskan bahwa ada "pemerintahan ganda" di atas kertas, meski dalam kenyataan hanya satu pihak yang berfungsi penuh di mayoritas wilayah.
Dalam kacamata geopolitik, langkah Damaskus juga dapat dibaca sebagai pesan kepada masyarakat internasional. Dengan tetap melantik pejabat di provinsi yang tidak mereka kuasai sepenuhnya, pemerintah Suriah ingin menunjukkan klaim kedaulatannya yang tidak bisa diganggu gugat. Raqqa, meski lepas dari kendali, tetap dianggap bagian integral dari Republik Arab Suriah. Meski saat ini pemilu Suriah tak memasukkan Raqqa, Hasakah dan Deir Ezzour, namun alokasi kursi parlemen tetap diberikan.
Mahmoud Abdul Karim Salem, pejabat baru yang ditunjuk, tentu menghadapi tantangan besar. Tugasnya di atas kertas adalah mengelola urusan lingkungan di Raqqa. Namun, dengan otoritas nyata yang terbatas hanya di Jalabrus, Ras al-Ain, dan beberapa desa kecil di pinggiran, perannya lebih dekat pada posisi simbolik ketimbang praktis.
Sejarah menunjukkan bahwa praktik semacam ini bukan kali pertama dilakukan oleh Damaskus. Di berbagai provinsi yang dikendalikan oposisi atau kelompok Kurdi, pemerintah pusat tetap melantik pejabat provinsi dari waktu ke waktu. Langkah ini berfungsi menjaga kesinambungan administrasi dalam perspektif negara, walau hanya sebatas legalitas.
Tidak dapat dipungkiri, Raqqa masih menjadi salah satu provinsi paling kompleks dalam konflik Suriah. Terletak di jantung negeri, provinsi ini menjadi saksi pertempuran berdarah antara rezim, oposisi, hingga kekuatan asing di masa lalu. Oleh karena itu, setiap penunjukan pejabat baru selalu memunculkan diskursus lebih luas mengenai legitimasi dan efektivitas pemerintahan.
Bagi masyarakat Raqqa sendiri, persoalan lingkungan dan pembangunan jauh lebih penting daripada tarik-menarik politik administratif. Banyak warga masih berjuang memperbaiki kehidupan sehari-hari di tengah infrastruktur yang rusak parah. Tantangan pencemaran air, pengelolaan sampah, hingga rehabilitasi lahan pertanian pascaperang masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Ironisnya, pejabat yang ditunjuk Damaskus kemungkinan besar tidak dapat mengakses langsung wilayah-wilayah yang membutuhkan penanganan lingkungan paling mendesak, jika SDF bersikeras belum bersedia intergrasi. Hal ini memperlihatkan betapa dalamnya jurang antara keputusan birokrasi pusat dan kenyataan lapangan di provinsi-provinsi konflik.
Dengan kondisi demikian, keputusan penunjukan Mahmoud Abdul Karim Salem lebih tepat dilihat sebagai strategi politik Damaskus. Ia berfungsi untuk mengukuhkan kembali klaim otoritas negara di atas provinsi yang masih bersengketa, meskipun realitas kontrol tidak mendukung klaim tersebut.
Penunjukan ini juga bisa menjadi sinyal bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses politik Suriah di masa depan. Pemerintah ingin menegaskan bahwa mereka tetap memiliki "struktur administratif lengkap" di semua provinsi, sehingga legitimasi mereka sebagai satu-satunya pemerintah sah tetap terjaga di forum internasional.
Pada akhirnya, keberhasilan pejabat lingkungan yang baru ini tidak diukur dari seberapa luas wilayah otoritas yang bisa ia kuasai, melainkan dari sejauh mana Damaskus mampu mempertahankan narasi keberadaan pemerintahan di Raqqa. Selama mayoritas wilayah tetap di bawah kendali kekuatan lain, maka penunjukan tersebut akan tetap berada di wilayah simbolisme belaka.
Namun, dalam konteks sejarah panjang Suriah, setiap langkah kecil Damaskus tetap menjadi bagian dari strategi besar untuk mempertahankan klaim kedaulatan. Penunjukan seorang kepala dinas lingkungan di Raqqa adalah potret kecil bagaimana sebuah negara yang terkoyak perang masih berusaha menegakkan formalitas pemerintahan di atas puing-puing kekuasaan yang tersisa.
Tidak ada komentar