Turkmenistan, Lebih Mirip Bhutan daripada Korea Utara
Turkmenistan kerap dijuluki sebagai salah satu negara paling absurd di dunia modern. Media asing sering menyandingkan negeri Asia Tengah ini dengan Korea Utara, padahal jika ditelisik lebih jauh, Turkmenistan lebih tepat dibandingkan dengan Bhutan. Keduanya sama-sama negara kecil yang ingin hidup dengan caranya sendiri, meski arah kebijakan politik dan hasilnya tentu berbeda.
Perbandingan dengan Korea Utara muncul terutama karena sifat otoriternya yang sangat menonjol. Namun, ada perbedaan fundamental yang membuat penyamaan itu tidak sepenuhnya tepat. Korea Utara membangun kekuatan nuklirnya sebagai tameng menghadapi ancaman eksternal, terutama Amerika Serikat. Turkmenistan, sebaliknya, memilih menutup diri hanya untuk mempertahankan gaya hidup politik dan budaya yang mereka anggap khas.
Sejak merdeka dari Uni Soviet, Turkmenistan menempuh jalan politik yang unik. Presiden pertamanya, Saparmurat Niyazov, memulai era baru dengan kultus individu ekstrem. Ia menyebut dirinya Turkmenbashi, pemimpin semua orang Turkmen. Langkahnya meliputi perubahan nama bulan, larangan janggut, hingga menjadikan kitab Ruhnama sebagai semacam kitab suci nasional.
Kultus individu itu terus berlanjut hingga ke era penggantinya, Gurbanguly Berdimuhamedov. Mantan dokter gigi ini mengambil alih kekuasaan pada 2007, melanjutkan praktik lama dengan gaya yang lebih modern. Ia menulis puluhan buku tentang kuda, obat herbal, hingga sejarah, dan tak segan menampilkan dirinya dalam berbagai pertunjukan musik maupun olahraga.
Ashgabat, ibu kota negara ini, menjadi panggung arsitektur monumental yang mengundang decak kagum sekaligus geleng kepala. Bangunan marmer putih, patung emas, hingga bandara berbentuk elang bernilai miliaran dolar berdiri megah, sementara rakyat pedesaan hidup dalam keterbatasan.
Fasad kemewahan inilah yang membuat banyak orang menyamakan Turkmenistan dengan Korea Utara. Namun, jika dilihat lebih saksama, kebijakan negara ini lebih mendekati Bhutan, yang juga menolak pengaruh luar meski dengan cara yang jauh berbeda. Bhutan memilih mengukur kesejahteraan dengan indeks kebahagiaan nasional, Turkmenistan memilih mempertahankan isolasi sambil membangun simbol-simbol kebesaran.
Ironinya, sumber daya alam yang melimpah, terutama gas alam, tidak pernah benar-benar membawa kemakmuran bagi rakyat. Turkmenistan memiliki cadangan gas terbesar keempat di dunia, tetapi keuntungan itu lebih banyak tersedot ke rekening para elit politik.
Krisis global pada 2014 ketika harga gas anjlok memperparah situasi. Negara mengalami kelangkaan pangan, PHK massal, hingga jatah makanan. Warga, meski sempat menikmati gas gratis, tetap dipaksa bekerja di ladang kapas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Di bawah kepemimpinan Gurbanguly, proyek-proyek prestisius terus digulirkan, termasuk kawasan wisata Avaza di Laut Kaspia. Namun, kawasan ini sepi pengunjung, membuktikan bahwa pembangunan tidak pernah benar-benar berpijak pada kebutuhan rakyat.
Pada 2022, tongkat estafet kepemimpinan beralih ke Serdar Berdimuhamedov, putra Gurbanguly. Meski demikian, publik internasional menilai Serdar hanyalah presiden boneka, sementara ayahnya tetap menjadi pengendali utama dengan gelar “Pemimpin Nasional Rakyat Turkmen.”
Kondisi rakyat hampir tidak berubah. Di pedesaan, air bersih dan listrik masih menjadi barang mewah. Gaji rata-rata sekitar 200 dolar AS per bulan jelas tidak sebanding dengan harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi.
Atmosfer ketakutan juga masih menguasai kehidupan sehari-hari. Kritik terhadap pemerintah nyaris mustahil dilakukan, media tidak bebas, dan masyarakat harus selalu berhati-hati dalam berbicara.
Meskipun demikian, perbedaan mencolok dengan Korea Utara tetap terlihat. Turkmenistan tidak mengembangkan senjata nuklir atau mengancam negara lain. Mereka hanya memilih menutup diri dan membangun dunia versi mereka sendiri.
Inilah sebabnya sejumlah pengamat berpendapat, menyamakan Turkmenistan dengan Korea Utara kurang tepat. Lebih adil jika negara ini disandingkan dengan Bhutan—dua negara yang sama-sama unik, meski Bhutan dikenal damai dan Turkmenistan penuh absurditas.
Bhutan membatasi kunjungan turis dengan tarif tinggi demi menjaga budaya, sementara Turkmenistan membangun bandara megah berbentuk elang yang justru sepi pengunjung. Perbedaan nasib yang lahir dari kebijakan berbeda, meski keduanya sama-sama ingin menentukan jalannya sendiri.
Dalam kacamata internasional, Turkmenistan tetap dianggap sebagai tragedi modern. Kekayaan alam melimpah gagal memberi kesejahteraan, sementara rakyat dipaksa hidup di balik tirai isolasi.
Meski begitu, negara ini jarang menjadi sorotan dunia dibanding Korea Utara. Tidak adanya ancaman militer membuat Turkmenistan cenderung dilupakan dalam wacana global, padahal kehidupan warganya tidak kalah berat.
Kesimpulannya, Turkmenistan lebih cocok disebut sebagai “Bhutan versi kelam” ketimbang Korea Utara kedua. Negara ini memang tertutup dan penuh keanehan, tetapi motifnya berbeda. Bukan senjata nuklir atau konfrontasi, melainkan keinginan untuk hidup dalam dunia yang diciptakan penguasanya sendiri.
Tantangan ke depan adalah apakah rakyat akan terus bertahan dalam absurditas atau suatu saat sejarah memaksa perubahan. Hingga kini, Turkmenistan tetap menjadi salah satu teka-teki besar dalam politik global, sebuah negara yang memilih jalan sendiri meski penuh paradoks.
Tidak ada komentar