Ketegangan di Suwayda Suriah: Anti Separatisme Diusik Garda Jabal Bashan
Suwayda, Suriah — Ketegangan keamanan di wilayah Suwayda, selatan Suriah, semakin memanas setelah serangkaian penangkapan terhadap tokoh‑tokoh yang vokal anti separatisme menentang pemimpin de facto Jabal Bashan Sheikh Al Hajri, menimbulkan kekhawatiran serius atas meningkatnya tindakan keras terhadap oposisi.
Garda Nasional, pasukan separatis Jabal Bashan, yang diperkirakan bertindak atas dukungan penuh Al Hajri, kini diduga meluncurkan kampanye sistematis untuk melenyapkan lawan politiknya, memperdalam rasa takut dan ketidakpastian di antara warga setempat. Jabal Bashan adalah istilah baru menggantikam nama wilayah Jabal Arab. Bashan merupakan istilah bahasa Ibrani untuk menunjukkan dukungan pada proyek neo kolonialisme Greater Israel di Suriah.
Peristiwa terbaru ini terjadi pada akhir November, ketika sejumlah tokoh masyarakat dan pemimpin lokal pro Damaskus ditangkap dalam gelombang razia yang dilakukan oleh pasukan Garda Nasional. Di antara mereka yang ditangkap terdapat figur penting dalam komunitas Druze setempat, membawa dampak besar bagi struktur sosial dan politik yang rapuh di Suwayda.
Menurut laporan koresponden Enab Baladi, operasi penangkapan yang dilancarkan pada 28 November menargetkan beberapa tokoh yang dikenal kritis terhadap kebijakan dan praktik yang dijalankan oleh Sheikh Al Hajri. Penangkapan tersebut tidak hanya mencakup aktivis biasa, tetapi juga sheikh‑sheikh masyarakat yang memiliki pengaruh signifikan dalam komunitas Druze, yang selama ini dikenal sebagai elemen penting dalam menjaga keseimbangan sosial di wilayah tersebut.
Tragisnya, dua figur yang ditangkap — Maher Falhout dan Raed al‑Matni — dilaporkan tewas dalam tahanan. Raed al‑Matni, merupakan salah satu sheikh terkemuka di Suwayda, meninggal setelah mengalami tortur saat ditahan, menurut informasi yang berhasil dihimpun. Kematian mereka memicu gelombang kecaman dari keluarga, komunitas lokal, dan aktivis hak asasi manusia internasional yang menyerukan penyelidikan independen atas perlakuan terhadap tahanan.
Warga Suwayda yang menyaksikan peristiwa ini mencerminkan suasana ketakutan dan kecemasan yang makin mengakar di wilayah tersebut. Selama ini, komunitas Druze dikenal mengutamakan dialog dan resolusi damai dalam menyelesaikan konflik internal, namun tindakan represif yang ditujukan kepada para pemimpinnya menciptakan kesan bahwa ruang untuk kritik dan oposisi semakin sempit.
Keluarga korban dan tokoh masyarakat lain menyatakan keprihatinan mendalam atas kondisi di lapangan. Mereka mengecam tindakan penahanan dan menyerukan agar pihak berwenang menjamin keselamatan serta hak asasi para tahanan. Pernyataan‑pernyataan mereka menunjukkan kekecewaan yang meluas terhadap metode penegakan hukum yang dipakai Garda Nasional, yang dinilai lebih menyerupai kampanye intimidasi daripada operasi keamanan yang sah.
Sementara itu, sumber lokal lainnya mengungkapkan bahwa penangkapan telah menimbulkan ketidakpercayaan yang mendalam di antara warga terhadap aparat keamanan, terutama karena tindakan tersebut dilakukan tanpa proses hukum yang transparan. Ini berarti bahwa banyak keluarga yang tidak mengetahui nasib kerabat mereka setelah ditangkap, dan itu memperburuk rasa cemas di komunitas yang sudah lama hidup di bawah ancaman konflik.
Garda Nasional sendiri belum memberi pernyataan resmi yang rinci mengenai tuduhan praktik kekerasan terhadap tahanan, sementara pejabat yang terkait dengan Al Hajri menolak berkomentar atas kematian para tahanan. Penolakan ini justru semakin memicu spekulasi bahwa operasi tersebut memiliki motif politik yang kuat, bukan semata‑mata tindakan penegakan hukum biasa.
Pengamat politik setempat menyatakan bahwa tindakan keras seperti ini bisa semakin mengikis struktur sosial tradisional Suwayda, di mana pemimpin agama dan tokoh komunitas biasanya memainkan peran sentral dalam menjaga stabilitas. Hilangnya figur‑figur ini secara paksa berpotensi menciptakan kekosongan kepemimpinan yang sulit diisi, dan membuka celah bagi ketegangan baru di masa yang akan datang.
Komunitas internasional, termasuk organisasi hak asasi manusia, telah mengecam perlakuan terhadap tahanan dan menekankan pentingnya perlindungan hak sipil serta prosedur hukum yang adil. Mereka menyerukan agar pihak berwenang membuka akses bagi pengamat independen untuk menyelidiki tuduhan penyiksaan dan kematian di tahanan.
Di tengah gelombang kecaman itu, banyak warga setempat tetap berusaha mempertahankan kehidupan sehari‑hari mereka, meskipun bayang‑bayang ketidakpastian dan ancaman kekerasan selalu menghantui. Pedagang di pasar lokal dan para pekerja mengatakan bahwa suasana ketakutan mulai memengaruhi aktivitas ekonomi di kota, dengan banyak keluarga yang menunda rencana dan tetap berada di rumah demi keamanan.
Sementara itu, keluarga Raed al‑Matni dan Maher Falhout tengah menyiapkan prosesi pemakaman dan acara peringatan, yang juga menjadi momen berkumpulnya para warga yang ingin memberi penghormatan terakhir. Acara ini dipandang sebagai simbol perlawanan komunitas terhadap tindakan represif yang mereka nilai berlebihan.
Kelompok advokasi lokal menyerukan agar aparat keamanan mempertimbangkan kembali pendekatan mereka, menekankan bahwa kekerasan hanya akan memperburuk situasi dan memperdalam luka di dalam masyarakat yang sudah lama menderita akibat konflik berkepanjangan di Suriah. Mereka meminta dialog antara pemimpin lokal dan pihak berwenang sebagai jalan keluar damai dan menghormati hak asasi manusia.
Sementara itu, sejumlah ulama dan tokoh agama dari luar wilayah Suwayda menyatakan solidaritas mereka terhadap keluarga korban dan menyerukan agar penegakan hukum dilakukan dengan menghormati prinsip keadilan. Seruan ini mendapat sambutan positif dari banyak warga yang merasa aksi represif telah melampaui batas.
Koordinator bantuan kemanusiaan di Suwayda mengungkapkan bahwa suasana ketidakstabilan seperti ini dapat memperparah kondisi warga yang sudah rentan. Layananan dasar seperti pendidikan dan kesehatan telah terganggu karena fokus warga kini lebih tertuju pada keselamatan pribadi dan keluarga, bukan pada kebutuhan jangka panjang.
Aktivis hak asasi manusia memperingatkan bahwa tanpa tindakan yang nyata untuk menghentikan kampanye penindasan ini, banyak lagi korban yang mungkin jatuh. Mereka menekankan bahwa komunitas internasional perlu memberi tekanan diplomatik agar tindakan semacam itu dihentikan.
Di tengah situasi yang tegang itu, beberapa kelompok masyarakat mencoba memfasilitasi dialog antara keluarga korban dan aparat keamanan setempat, berharap dapat membuka jalur komunikasi yang selama ini tertutup rapat.
Pemerhati konflik menyatakan bahwa strategi penindasan politik yang dipilih oleh Garda Nasional justru berpotensi menciptakan efek balik yang memperkuat oposisi, karena tindakan kekerasan cenderung memicu rasa solidaritas di antara kelompok yang tertindas.
Beberapa warga bahkan mulai menyusun kelompok dukungan sipil yang bertujuan memberikan bantuan moral dan advokasi hukum kepada keluarga korban, sebagai wujud perlawanan non‑kekerasan terhadap praktik penindasan.
Kisah ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat Suwayda dan wilayah lain di Suriah selatan, di mana konflik internal dan ketidakadilan hukum terus merongrong rasa aman warga sipil setiap hari.
Situasi di Suwayda kini menjadi perhatian banyak pihak; bagaimana nasib oposisi vokal terhadap Al Hajri dan apakah kampanye penindasan ini akan mereda atau justru semakin meningkat masih menjadi pertanyaan besar yang menggantung di atas masyarakat yang berharap akan masa depan yang lebih damai.
Perkembangan berikutnya akan terus disorot oleh media internasional dan kelompok advokasi kemanusiaan, yang berharap bahwa tindakan represif ini pada akhirnya akan digantikan oleh dialog dan penegakan hukum yang menghormati hak asasi manusia serta martabat warga Suriah di Suwayda.
































Tidak ada komentar