Rohingya dan Masa Depan Rakhine di Tangan Arakan Army
Seiring berjalannya waktu, kekuatan Arakan Army (AA) di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, terus bertambah. Sejak berhasil merebut sebagian besar wilayah dari junta militer Myanmar, kelompok bersenjata ini mulai membangun konsep pemerintahan sipil alternatif yang mereka sebut sebagai pemerintahan rakyat Arakan. Lebih menarik, kali ini AA menawarkan sebuah visi pemerintahan inklusif yang membuka ruang bagi etnis Rohingya, kelompok minoritas Muslim yang selama ini menjadi korban pengusiran dan diskriminasi brutal.
Pemerintahan sipil yang dipayungi oleh United League of Arakan (ULA), sayap politik AA, bahkan telah membentuk sejumlah komite urusan Muslim dan etnis minoritas di sejumlah kota. Langkah ini dinilai sebagai upaya merekonstruksi hubungan sosial di kawasan yang telah lama diwarnai kekerasan komunal. Tak hanya itu, AA juga menghapus beberapa pembatasan mobilitas yang selama ini membelenggu komunitas Rohingya di wilayah-wilayah yang berhasil mereka kuasai.
Namun respons dari komunitas Rohingya sendiri masih terbagi. Sebagian menyambut baik kebijakan ini dan mulai ikut serta dalam komite-komite desa, layanan kesehatan, hingga pelatihan aparat keamanan sipil. Di Minbya, misalnya, puluhan warga Rohingya sudah dilibatkan dalam struktur pemerintahan lokal yang baru dibentuk oleh AA. Hal itu menjadi sinyal awal bahwa sebagian komunitas Rohingya melihat peluang di bawah otoritas baru ini.
Sebagian lain merasa terpaksa mengikuti arus, lebih karena kekhawatiran akan pembalasan jika menolak. Situasi keamanan yang rapuh dan ketidakpastian masa depan membuat banyak warga Rohingya memilih bersikap pragmatis. Mereka menilai bahwa di bawah junta, masa depan mereka sepenuhnya gelap. Sementara di bawah AA, setidaknya ada janji penghapusan diskriminasi yang bisa menjadi awal rekonsiliasi.
Meski begitu, tidak sedikit juga kelompok Rohingya yang masih menaruh curiga. Di wilayah Buthidaung dan Maungdaw, sebagian komunitas Rohingya tetap skeptis terhadap janji-janji ULA. Kawasan ini memang sejak lama menjadi basis konflik paling keras antara etnis Rakhine dan Rohingya. Kelompok ekstrem Rohingya bersenjata seperti ARSA juga masih bercokol di beberapa kantong, bahkan dilaporkan masih memiliki simpatisan yang menolak dominasi AA.
Skenario masa depan Rakhine akan sangat ditentukan oleh kekuatan politik AA. Jika AA mampu meyakinkan komunitas Rohingya dengan komitmen nyata terhadap pemerintahan inklusif, peluang perdamaian yang lebih luas bisa tercipta. Keterlibatan tokoh-tokoh Rohingya dalam administrasi publik akan menjadi indikator utama apakah janji inklusi itu benar-benar dilaksanakan atau sekadar manuver politik untuk meraih legitimasi internasional.
Namun, ancaman paling nyata justru datang dari kemungkinan junta militer melakukan serangan balasan dan kembali merebut wilayah Rakhine. Bila itu terjadi, Rohingya berpotensi kembali menjadi korban pertama, seperti pengalaman genosida 2017 silam. Junta militer Myanmar selama ini memang dikenal memanfaatkan ketegangan etnis di Rakhine untuk kepentingan militernya, kerap mengadu domba komunitas Rakhine Buddha dan Muslim Rohingya.
Di sisi lain, pemerintah AA juga menghadapi tantangan keuangan dan infrastruktur pemerintahan yang belum stabil. Kehadiran ARSA di beberapa kantong desa menjadi ancaman langsung bagi otoritas AA, apalagi ARSA diduga masih menjalin kontak dengan jaringan militer Myanmar. Kondisi ini berpotensi memicu kekerasan baru, jika AA tidak mampu meredam resistensi kelompok bersenjata Rohingya.
Rakhine kini berada di persimpangan. Jika AA berhasil memformulasikan sistem pemerintahan sipil yang inklusif dan menjamin hak-hak dasar Rohingya, kawasan ini bisa menjadi model transisi kekuasaan bersenjata ke pemerintahan sipil di Myanmar. Namun bila inklusi hanya sebatas simbolik atau untuk pencitraan politik, ketegangan antar etnis di Rakhine hanya menunggu waktu untuk meledak kembali.
Tokoh-tokoh Rohingya di kamp-kamp pengungsian di Bangladesh pun tengah mengamati situasi ini. Banyak dari mereka yang berharap AA benar-benar membuka jalan bagi repatriasi aman dan bermartabat, bukan sekadar menjadikan komunitas Rohingya alat politik di tengah konflik bersenjata. Sejumlah pertemuan informal antara tokoh Rohingya dan perwakilan AA kabarnya telah digelar, meskipun hasilnya masih jauh dari harapan.
Bila pemerintahan inklusif ini bisa berjalan, kehadiran Rohingya di institusi publik akan menjadi preseden penting. Mereka bisa kembali memiliki akses atas pelayanan dasar, pendidikan, hingga hak atas tanah. Namun jalan menuju ke sana masih panjang, karena AA juga harus menghadapi tekanan dari kelompok nasionalis Rakhine yang menolak keras kehadiran Rohingya dalam pemerintahan.
Dari sisi internasional, skenario pemerintahan inklusif ini berpotensi menarik dukungan donor dan pengakuan politik bagi AA. Banyak lembaga kemanusiaan dan negara Barat menilai upaya penyertaan Rohingya sebagai indikator penting bagi legitimasi pemerintahan di Rakhine pasca-militer. Namun hal ini juga bisa menjadi bumerang jika AA gagal mengontrol militansi ARSA atau ekstremis lokal.
Keputusan AA untuk menghapus sebagian pembatasan mobilitas Rohingya memang jadi langkah progresif. Namun, itu belum cukup tanpa legalisasi status kewarganegaraan dan jaminan perlindungan hukum. Hingga kini, janji-janji itu masih bersifat lisan tanpa kerangka hukum yang jelas.
Jika junta kembali masuk ke Rakhine, pengalaman sejarah membuktikan Rohingya-lah yang pertama kali jadi sasaran kekerasan. Militer Myanmar selama ini menjadikan Rohingya sebagai kambing hitam ketegangan politik dan alat justifikasi operasi militer di kawasan itu. Maka, keberhasilan pemerintahan AA dalam mempertahankan wilayah dan membangun inklusi akan menjadi faktor penentu keselamatan Rohingya di masa depan.
Masyarakat Rakhine Buddha juga masih menyimpan luka lama akibat konflik antar etnis. AA perlu memastikan bahwa langkah inklusi terhadap Rohingya tidak memicu resistensi internal yang justru memperlemah kekuatan sipil di Rakhine. Dialog lintas komunitas yang sungguh-sungguh harus segera digagas jika ingin pemerintahan sipil ini bertahan.
Pada akhirnya, masa depan Rakhine bukan hanya soal perebutan kekuasaan bersenjata, tapi juga soal rekonsiliasi etnis dan pengakuan atas hak-hak sipil yang selama puluhan tahun dirampas. Jika AA gagal mewujudkan pemerintahan inklusif yang adil, sejarah kekerasan komunal Rakhine akan kembali terulang, dan Rohingya sekali lagi harus membayar harga paling mahal.
Tidak ada komentar