Header Ads

  • Breaking News

    Laporan Aneh Mengenai Keterlibatan Suku Arab Palestina di Genosida Gaza oleh Israel


    Kisah aliran bantuan ke Jalur Gaza kembali menimbulkan tanda tanya besar setelah investigasi terbaru Sky News, yang selama ini menjadi corong pendukung genosida terhadap warga Palestina di Gaza oleh Israel, mengungkap keterlibatan jaringan lintas negara 'yang tak biasa'. 

    Di balik upaya kemanusiaan yang seharusnya netral, tersingkap adanya campur tangan kelompok bersenjata dan keterhubungan dengan unsur-unsur militer dari berbagai pihak. Sumber utama dalam laporan itu, seorang tokoh bernama Hassan, menyebut bahwa bantuan senjata, uang, dan makanan diterima kelompok yang dikenal sebagai Popular Forces dengan mekanisme koordinasi resmi yang seolah-olah sah. Laporan ini sepertinya bertujuan untuk melindungi PM Israel Netanyahu dan pihak yang terkait genosida di Gaza seperti kabinet, militer dari Arab Druze dan lainnya, dengan menekankan bahwa warga Suku Arab juga terlibat.

    Hassan mengungkap bahwa sebagian besar pasokan tersebut berasal dari para anggota suku Badui Tarabin yang tersebar di Israel, Mesir, dan Yordania. Kelompok suku ini, menurutnya, memiliki ikatan darah dan jaringan sosial yang kuat, yang dimanfaatkan untuk mengalirkan bantuan kepada Yasser Abu Shabab, pemimpin Popular Forces. Namun jalur masuknya ke Gaza tidak semudah yang dibayangkan. Semua harus melalui sebuah “kantor koordinasi” di bawah Otoritas Palestina yang kemudian berhubungan langsung dengan otoritas keamanan Israel serta sejumlah negara Arab.

    Menurut Hassan, kantor tersebut sejatinya berfungsi sebagai ruang komunikasi tiga arah antara keamanan Mesir, Israel, dan Yordania. Mekanisme ini, katanya, dibentuk secara khusus untuk digunakan oleh Popular Forces. Di sinilah ia menegaskan bahwa kelompoknya memperoleh segala bentuk kebutuhan, mulai dari logistik, senjata, hingga dana operasional. Pernyataan itu menimbulkan kecurigaan kuat bahwa jaringan bantuan yang diklaim kemanusiaan telah berubah fungsi menjadi saluran suplai militer terselubung.

    Menanggapi tudingan tersebut, pemerintah Palestina, Mesir, dan Yordania belum memberikan pernyataan resmi. Begitu pula dengan Yasser Abu Shabab sendiri yang tak menjawab permintaan konfirmasi dari media. Namun di lapangan, bukti-bukti visual yang diperoleh Sky News memperkuat klaim Hassan. Dalam beberapa video, tampak palet bantuan makanan bertanda Gaza Humanitarian Foundation (GHF) berada di kamp Popular Forces.

    GHF dikenal sebagai lembaga bantuan yang berbasis di Amerika Serikat dan mendapat sokongan sejumlah institusi Barat. Laporan itu menyebut makanan dan bahan pokok disalurkan secara cuma-cuma kepada kelompok Abu Shabab. Namun sebagian besar tidak sampai ke warga sipil. Popular Forces, menurut pengakuan Hassan, menyimpan sebagian untuk keperluan sendiri dan sisanya dibagikan secara selektif di wilayah Rafah.

    Direktur UNRWA Gaza, Sam Rose, mengecam praktik tersebut sebagai pelanggaran total terhadap prinsip kemanusiaan. Ia menegaskan bahwa bantuan harus diberikan berdasarkan kebutuhan dan tidak boleh memihak pihak mana pun dalam konflik. “Memberikan bantuan langsung kepada faksi bersenjata berarti menyalahi prinsip dasar kemanusiaan,” ujarnya. Temuan Sky News memperkuat tudingan itu setelah menemukan sejumlah paket bantuan yang masih bersegel di markas Popular Forces.

    Di sisi lain, muncul fakta menarik dari hasil penelusuran media itu di platform TikTok. Sejumlah akun menunjukkan interaksi intens antara anggota Popular Forces dengan pasukan Israel, terutama Unit 585 atau Desert Reconnaissance Battalion. Unit ini dikenal sebagai satuan elit Badui Muslim dalam Tentara Pertahanan Israel (IDF) yang bertugas di perbatasan Kerem Shalom — jalur yang sama digunakan untuk menyelundupkan pasokan ke Gaza.

    Dalam salah satu unggahan, seorang prajurit menulis komentar berbunyi “Salam untuk Abu Shabab dari 585” dengan disertai emoji hati. Ungkapan itu menimbulkan dugaan adanya hubungan informal antara tentara Israel dan kelompok bersenjata Gaza yang justru dikategorikan musuh oleh sebagian besar masyarakat internasional.

    Salah satu anggota Unit 585 bernama Sami, yang keluarganya telah turun-temurun bertugas di IDF, mengaku bangga atas dukungan Israel kepada Yasser Abu Shabab. Ia menegaskan bahwa Israel membantu kelompok tersebut dengan granat, kendaraan, uang, dan makanan. Pengakuan ini tentu menimbulkan gelombang kontroversi karena memperlihatkan hubungan paradoksal antara musuh politik dan mitra tak resmi di lapangan.

    IDF sendiri memilih bungkam terhadap temuan Sky News. Begitu pula badan keamanan Shin Bet yang tidak memberikan tanggapan. Sementara itu, sejumlah rekaman TikTok memperlihatkan kendaraan mewah seperti SUV dan motor besar berpelat Israel yang kemudian muncul di kamp Popular Forces di Gaza. Salah satunya, Toyota Land Cruiser 2025, terlihat melintas di jalan Israel pada 31 Juli sebelum diketahui berpindah tangan ke wilayah Gaza.

    Bukti-bukti tersebut menandakan adanya sistem peredaran logistik kompleks yang melibatkan aktor militer dan non-militer lintas negara. Mekanisme itu tampak mengaburkan batas antara operasi kemanusiaan dan aktivitas militer, terutama di wilayah konflik yang akses resminya sangat terbatas seperti Gaza Selatan.

    Dalam perkembangan terbaru, muncul sosok Issam Nabahin, pria yang sebelumnya pernah disebut oleh sayap bersenjata Hamas sebagai tersangka dalam serangkaian pengeboman di Kota Gaza pada 2015. Foto Nabahin sempat dipublikasikan oleh Hamas dengan label “buronan”, namun kini namanya muncul kembali melalui keterangan Hassan. “Setelah dia meninggalkan terorisme, dia bergabung dengan Popular Forces,” kata Hassan. “Kami baru mengenalnya ketika kelompok Popular Forces terbentuk.”

    Pernyataan itu mengindikasikan bahwa Popular Forces bukan hanya kelompok milisi baru, melainkan juga tempat bernaung bagi sejumlah mantan militan dari berbagai faksi di Gaza. Transformasi Nabahin menggambarkan bagaimana jalur politik dan ideologis di kawasan itu terus berubah mengikuti dinamika kekuasaan di lapangan.

    Namun, bagi banyak pengamat, keberadaan kelompok seperti Popular Forces justru memperumit situasi keamanan di Gaza. Di satu sisi mereka menolak label “teroris” dan mengklaim sebagai kekuatan lokal yang menjaga keamanan komunitas Badui. Di sisi lain, dukungan senjata dan dana dari pihak asing membuat legitimasi mereka diragukan.

    Beberapa analis menilai bahwa hubungan antara Israel dan kelompok ini bisa jadi merupakan bagian dari strategi intelijen untuk menciptakan keseimbangan kekuatan di Gaza. Dengan cara itu, Israel dapat memecah konsolidasi faksi-faksi besar seperti Hamas atau Jihad Islam, sambil tetap menjaga kendali tidak langsung terhadap situasi keamanan di perbatasan selatan.

    Fenomena ini juga memperlihatkan realitas sosial politik di mana suku-suku Badui menjadi faktor penentu dalam dinamika regional. Loyalitas ganda mereka terhadap jaringan kekerabatan dan otoritas negara sering menciptakan situasi abu-abu yang sulit dikontrol oleh otoritas pusat mana pun.

    Keterlibatan suku Tarabin dalam arus bantuan lintas batas semakin memperjelas bagaimana jaringan sosial tradisional bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik dan militer. Dalam kasus Popular Forces, jaringan itu telah berubah menjadi struktur distribusi logistik yang beroperasi di bawah radar lembaga internasional.

    Sementara dunia terus memperdebatkan legitimasi operasi kemanusiaan di Gaza, fakta di lapangan menunjukkan bahwa garis pemisah antara bantuan dan kepentingan militer semakin kabur. Popular Forces menjadi contoh nyata bagaimana konflik berkepanjangan dapat melahirkan entitas baru yang bergerak di wilayah abu-abu antara perang dan perdamaian.

    Pada akhirnya, munculnya nama-nama seperti Yasser Abu Shabab dan Issam Nabahin menegaskan bahwa di balik slogan “bantuan kemanusiaan” sering tersembunyi kepentingan geopolitik yang lebih luas. Gaza kembali menjadi panggung di mana simpati internasional, strategi militer, dan jaringan sosial kuno berpadu dalam satu skema yang sulit diurai.

    Di tengah tumpukan bantuan yang dilabeli “untuk kemanusiaan”, terselip pesan yang lebih gelap: bahwa perang modern tak lagi hanya ditentukan oleh senjata, tetapi juga oleh siapa yang menguasai jalur bantuan dan informasi di baliknya.

    Mengenai Suku Tarabin

    Suku Tarabin merupakan salah satu suku Badui terbesar dan paling berpengaruh di kawasan Timur Tengah, khususnya di wilayah Sinai, Negev (Israel Selatan), Mesir, dan Yordania. Asal-usul mereka diyakini berasal dari Hijaz, wilayah barat Arab Saudi modern, yang kemudian bermigrasi ke Semenanjung Sinai pada masa pra-Islam atau awal periode Islam. Perpindahan ini dipicu oleh tekanan antarsuku di jazirah Arab serta pencarian wilayah penggembalaan baru yang lebih subur dan strategis di sepanjang jalur perdagangan Laut Merah.

    Nama Tarabin sendiri berasal dari kata Arab tarbān atau triban, yang merujuk pada sebuah klan atau rumpun keluarga besar. Dalam silsilah Arab klasik, Tarabin dikaitkan dengan keturunan suku Quda’a, salah satu cabang besar bangsa Arab yang telah lama mendiami kawasan barat daya jazirah. Catatan sejarah menunjukkan bahwa suku ini mulai menancapkan pengaruhnya di Sinai sejak abad ke-16, saat Kesultanan Utsmaniyah mengatur wilayah tersebut sebagai jalur logistik strategis antara Mesir dan Hijaz.

    Seiring waktu, suku Tarabin membentuk jaringan sosial dan ekonomi yang luas. Mereka menguasai jalur-jalur kafilah dari Gaza hingga Aqaba, serta terlibat dalam perdagangan unta, garam, dan rempah. Hubungan mereka dengan kekuasaan formal sangat dinamis: kadang bekerja sama dengan pemerintah Mesir atau Utsmaniyah, kadang pula menentangnya ketika kebijakan dianggap mengancam otonomi suku. Gaya hidup mereka yang semi-nomaden membuat Tarabin dikenal sebagai mediator antara gurun dan kota — penghubung budaya Arab Badui dengan masyarakat pesisir.

    Pada abad ke-20, pembentukan negara Israel dan konflik Arab-Israel membawa perubahan besar bagi suku Tarabin. Banyak anggota suku yang menetap di wilayah Negev menjadi warga negara Israel, sementara sebagian lain tetap berada di Sinai dan Yordania. Meski batas politik baru membagi mereka ke dalam tiga negara, Tarabin tetap mempertahankan identitas suku melalui ikatan kekerabatan dan adat istiadat, termasuk sistem kepemimpinan berbasis sheikh dan tradisi pernikahan internal.

    Kini, suku Tarabin dikenal sebagai kelompok Badui dengan pengaruh lintas batas yang signifikan. Mereka berperan dalam berbagai sektor — mulai dari perdagangan lintas negara, aktivitas keamanan perbatasan, hingga dalam beberapa kasus, hubungan informal dengan kelompok militer dan politik di kawasan. Meskipun telah mengalami modernisasi, Tarabin masih mempertahankan nilai-nilai dasar Badui seperti kehormatan (sharaf), solidaritas suku (asabiyyah), dan ketaatan pada pemimpin kabilah, menjadikan mereka simbol keberlangsungan budaya gurun di era modern Timur Tengah.

    Baca sumber, Baca selanjutnya


    Tidak ada komentar

    Post Top Ad

    Post Bottom Ad