Ulama Sumut dan Jejak Ilmu dari Tanah Palestina
Sebelum Indonesia merebut kemerdekaannya, jauh di belahan dunia lain, tepatnya di jantung Timur Tengah, Baitul Maqdis, Palestina, terpancar cahaya ilmu yang diserap oleh para cendekiawan Muslim dari berbagai penjuru dunia. Di antara para penuntut ilmu tersebut, terselip nama-nama ulama besar dari Sumatera Utara yang kelak akan memainkan peran penting dalam perkembangan Islam di tanah air. Jejak langkah mereka di bumi para nabi menjadi saksi bisu akan dahaga ilmu dan semangat keislaman yang melampaui batas geografis.
Kisah pertama menyoroti Syeikh Abdul Muthalib Lubis, seorang tokoh spiritual kharismatik yang lahir di Manyabar pada tahun 1847. Berasal dari keluarga sederhana, beliau menunjukkan ketertarikan mendalam pada ilmu agama sejak usia muda. Setelah merantau ke Kesultanan Deli dan mengumpulkan bekal yang cukup, pada usia 17 tahun, Syeikh Abdul Muthalib bersama saudaranya bertolak ke Mekkah, pusat ilmu pengetahuan Islam kala itu.
Di Mekkah, Syeikh Abdul Muthalib menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memperdalam berbagai disiplin ilmu agama. Namun, dahaga ilmunya membawanya melangkah lebih jauh. Beliau kemudian melakukan musafir ke Baitul Maqdis, Jerusalem, Palestina, sebuah tanah yang memiliki nilai sejarah dan spiritual yang tinggi bagi umat Islam. Di sana, beliau menimba ilmu dan memperluas wawasan keislamannya sebelum kembali ke Mekkah.
Sekembalinya ke Mekkah, Syeikh Abdul Muthalib tidak berhenti mencari ilmu. Beliau melanjutkan studinya di Jabal Qubeis, mendalami Tarekat Naqsabandiyah hingga mencapai tingkat Alim, sebuah pengakuan atas kedalaman ilmu dan pemahamannya. Setelah malang melintang menimba ilmu di Tanah Suci dan Palestina, pada tahun 1923, Syeikh Abdul Muthalib kembali ke tanah air, membawa bersamanya bekal ilmu dan spiritual yang berlimpah.
Di Manyabar, Syeikh Abdul Muthalib mendedikasikan dirinya untuk kegiatan sosial yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat. Beliau aktif membangun kehidupan sosial di berbagai tempat, mulai dari Barbaran hingga Siladang. Berbagai persoalan masyarakat, mulai dari masalah rumah tangga hingga kesulitan ekonomi dan pendidikan, menjadi perhatian beliau.
Melalui pendekatan yang empatik dan solusi yang konstruktif, Syeikh Abdul Muthalib berhasil menggerakkan masyarakat untuk berswadaya dalam membangun fasilitas umum dan sosial keagamaan, seperti masjid dan fasilitas suluk. Beliau juga dikenal memiliki kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat, seperti inisiatifnya mencari mata air saat kemarau panjang, yang sangat bermanfaat bagi warga setempat.
Salah satu keistimewaan Syeikh Abdul Muthalib adalah kebiasaannya melakukan "long march," sebuah ritual berjalan kaki dari satu tempat ke tempat lain.
Perjalanan ini pernah membawanya ke Medan, Petumbukan, Galang, bahkan Pematang Siantar. Dalam setiap perjalanan, beliau aktif berinteraksi dengan masyarakat, mencoba memecahkan masalah sehari-hari yang mereka hadapi. Berkat usahanya, banyak masyarakat animisme di pedalaman Tanah Batak yang tergerak untuk memeluk Islam tanpa paksaan.
Di akhir hayatnya, Syeikh Abdul Muthalib membuka forum diskusi dan pengajian di kediamannya, yang selalu dihadiri oleh tokoh masyarakat dan mantan muridnya dari berbagai penjuru. Hal ini menunjukkan betapa besar pengaruh dan kharisma beliau di tengah masyarakat Sumatera Utara.
Kisah kedua adalah tentang Syeikh Ja'far Hasan Tanjung, seorang organisator ulung yang lahir di Remburan, Mandailing, pada tahun 1880. Sejak kecil, beliau merantau ke Medan dan tinggal bersama pamannya yang merupakan seorang pengusaha sukses. Pada tahun 1904, pamannya mengutus beliau untuk menimba ilmu ke Mekkah.
Setelah beberapa tahun belajar di Mekkah, Syeikh Ja'far Hasan Tanjung melanjutkan studinya ke Baitul Maqdis, Jerusalem, Palestina, mengikuti jejak ulama sebelumnya untuk memperdalam ilmu di tanah suci tiga agama tersebut. Dari Palestina, beliau melanjutkan perjalanan ke Kairo, pusat peradaban Islam di Mesir.
Pada tahun 1912, Syeikh Ja'far Hasan Tanjung kembali ke tanah air dan aktif mengembangkan Islam serta pendidikan di Medan. Pengalaman belajarnya di Timur Tengah memberikannya perspektif yang luas dalam membangun lembaga pendidikan Islam. Beliau kemudian diangkat menjadi pemimpin di Maktab Islamiyah Tapanuli, Medan, sebuah institusi pendidikan penting pada masanya.
Sumbangsih Syeikh Ja'far Hasan Tanjung tidak hanya terbatas pada bidang pendidikan. Beliau juga dikenal sebagai tokoh masyarakat yang memiliki prinsip kuat. Beliau menolak menerima zakat karena merasa ada golongan lain yang lebih berhak menerimanya, sebuah sikap yang tidak lazim pada saat itu dan menunjukkan integritas pribadinya.
Dalam perjalanan karir politiknya, Syeikh Ja'far Hasan Tanjung memiliki peran penting dalam pendirian organisasi al-Jam'iyah al-Washliyah di Medan, sebuah organisasi masyarakat Muslim yang memiliki pengaruh besar hingga kini. Rumah beliau di Padang Bulan bahkan diserahkan kepada organisasi tersebut, menunjukkan dedikasinya terhadap kemajuan umat Islam.
Tokoh ulama Sumatera Utara ketiga yang pernah menimba ilmu di Palestina sebelum kemerdekaan adalah H. Mahmud Fauzi Sidempuan, yang lahir pada tahun 1896 di Padang Sidempuan. Beliau lahir dari keluarga yang memiliki tradisi keagamaan yang kuat, dengan ibunya yang dikenal sebagai seorang intelektual perempuan Batak yang memiliki banyak pengikut.
Didikan agama yang kuat dari ibunya mendorong H. Mahmud Fauzi untuk mendalami ilmu agama. Beliau berguru kepada Syeikh Abdul Hamid Hutapungkut, seorang tokoh Islam terkemuka di wilayah tersebut. Atas dorongan gurunya, pada tahun 1910, H. Mahmud Fauzi berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya.
Ibunda H. Mahmud Fauzi menjadi pendukung utama pendidikannya di Mekkah. Bahkan saat Perang Dunia Pertama berkecamuk, ibunya tetap mengirimkan bekal untuk biaya hidupnya. Setelah menyelesaikan studinya di Mekkah, pada tahun 1919, H. Mahmud Fauzi kembali ke tanah air dan menjadikan Batang Toru sebagai pusat pengembangan pendidikannya.
Kharisma dan kewibawaan H. Mahmud Fauzi menarik banyak warga Batak Toba dari pedalaman untuk datang mendengarkan ceramah agama yang beliau sampaikan. Bahkan, banyak di antara mereka yang kemudian menetap di Batang Toru agar dapat menjadi bagian dari lembaga pendidikan yang beliau dirikan.
H. Mahmud Fauzi juga aktif dalam kegiatan dakwah, mengislamkan banyak orang Toba yang datang ke kediamannya untuk menyatakan keinginan mereka memeluk Islam. Bagi para mualaf ini, beliau menyediakan asrama sebagai tempat tinggal sementara sebelum mereka kembali ke kampung halaman masing-masing.
Para mualaf Toba yang dididik oleh H. Mahmud Fauzi kemudian banyak yang menjadi pegawai di Kementerian Agama Republik Indonesia setelah kemerdekaan. Selain aktif dalam dakwah dan pendidikan, H. Mahmud Fauzi juga produktif menulis buku, salah satunya berjudul "Menuju Mekkah-Madinah-Baitul Maqdis," yang menunjukkan jejak intelektualnya dan pengalamannya belajar di Tanah Suci dan Palestina.
Jabatan organisasi terakhir yang diemban oleh H. Mahmud Fauzi sebelum wafat adalah Rois Suriyah NU di Batang Toru. Beliau juga dikenal sebagai sosok yang dermawan, mewakafkan banyak hartanya untuk kepentingan dakwah Islam.
Kisah ketiga ulama besar Sumatera Utara ini menjadi bukti akan semangat mencari ilmu yang tinggi dan dedikasi mereka terhadap agama Islam. Pengalaman mereka menimba ilmu di Palestina, sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, memberikan warna tersendiri dalam perkembangan Islam di Sumatera Utara. Ilmu dan pemahaman yang mereka bawa dari tanah para nabi menjadi bekal berharga dalam membangun masyarakat Muslim yang beriman dan berilmu di tanah air. Jejak langkah mereka terus menginspirasi generasi Muslim hingga kini.
Tidak ada komentar